Tindak Pidana Pembunuhan memang sudah lama di kenal oleh Hukum Nasional kita melalui Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Bab XIX Buku II KUHP menggolongkan beberapa perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai Kejahatan terhadap Nyawa. Jenis Pembunuhan yang di atur dalam Bab ini meliputi Pembunuhan dengan Sengaja (Pasal 338), pembunuhan dengan rencana (Pasal 340), Pembunuhan anak setelah lahir oleh Ibu (pasal 341-342), Mati Bagus (Pasal 344) dan Pengguguran kandungan (pasal 346-349).
Sama sekali tidak terdapat satu pasal pun yang mengatur tentang tindak pidana pembunuhan yang diikuti pemotongan tubuh korban. Keadaan ini tentu saja dapat menimbulkan masalah hukum tentang kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Oleh karena itu dapatlah diambil beberapa isu hokum. Pertama, apakah tindakan pemotongan tubuh korban (mutilasi) dapat disebut sebagai kejahatan? Kedua, ketentuan hukum pidana apakah yang dapat dikenakan pada tindak mutilasi? Tindak Mutilasi sebagai kejahatan
Untuk dapat disebut sebagai tindak pidana sebuah tindakan haruslah memenuhi beberapa persyaratan, yaitu tindakan telah tersebut didalam ketentuan hukum sebagai tindakan yang terlarang baik secara formiil atau materiil. pembagian tindakan yang terlarang secara formiil atau materiil ini sebenarnya mengikuti KUHP sebagai buku Induk dari semua ketentuan hukum pidana Nasional yang belaku. KUHP membedakan tindak pidana dalam dua bentuk, kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). sebuah tindakan dapat disebut sebagai kejahatan jika memang didapatkan unsur jahat dan tercela seperti yang di tentukan dalam undang-undang.
Sedangkan tindakan dapat dikatakan sebagai pelanggaran karena pada sifat perbuatan itu yang menciderai ketentuan hukum yang berguna untuk menjamin ketertiban umum (biasanya aturan dari Penguasa). Black’s Law Dictionary (Bryan Garner:1999) memberikan definisi mutilasi (mutilation) sebagai “the act of cutting off maliciously a person’s body, esp. to impair or destroy the vistim’s capacity for self-defense.”Apabila di kaji secara mendalam, tindak mutilasi ini terbatas pada korban yang berwujud manusia alamiah baik perseorangan maupun kelompok dan bukanlah binatang. tindakan ini bisa dilakukan oleh pelaku pada korban pada waktu masih bernyawa atau pun pada mayat korban. tindakan pemotongan manusia secara hidup-hidup (sadis) ataupun mayat jelas merupakan tindakan yang sangat di cela oleh masyarakat dan dianggap sebagai tindakan yang sangat jahat. oleh karena itu, menurut penulis tindak mutilasi sangatlah tepat jika di golongkan ke dalam Kejahatan dan bukan pelanggaran. hal ini juga di dasarkan atas fungsi hukum pidana sebagai hukum publik yang melindungi dan menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum masyarakat luas.
Ketentuan Hukum Pidana Untuk Mutilasi
Setelah melakukan studi literatur dan produk hukum pidana sampai saat ini penulis belum mendapatkan satu ketentuan hukum pidana yang mengatur secara tegas dan jelas mengenai tindakan mutilasi. KUHP sebagai buku induk dari semua ketentuan hukum pidana di luar KUHP selama undang-undang tersebut tidak menentukan lain (Moeljatno) ternyata juga tidak mengatur tindakan ini.
Lalu apakah pelaku akan bebas jika ternyata tidak terdapat ketenuan hukum yang mengaturnya. jelas tidak. berikut ini beberapa ketentuan hukum pidana yang mungkin diterapkan pada tindak mutilasi dan kelemahannya.
Mutilasi pada Korban yang Masih Hidup
Dalam bahasan ini difokuskan pada mutilasi sebagai bentuk kejahatan penganiayaan yang mengakibatkan luka berat. Mutilasi berarti pemotongan anggota tubuh korban, ini berarti termasuk dalam penganiyaan berat. Pasal 90 KUHP menjelaskan ‘luka berat’ sebagai luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali/bahaya maut; tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan pekerjaan pencarian; kehilangan salah satu panca indera; cacat berat (verminking); sakit lumpuh; terganggunya daya pikir selama min. 4 minggu;gugurnya kandungan seorang perempuan
Pasal 351 ayat (2) KUHP à tindakan mutilasi pada ketentuan ini jelas mengacu pada tindakan untuk membuat orang lain merasakan atau menderita sakit secara fisik. hanya saja tindakan penganiayaan ini dilakukan oleh pelaku secara langsung tanpa ada rencana yang berakibat ‘luka berat’. sanksi pidana : penjara max 5 tahun
Pasal 353 ayat (1) KUHP à tindakan mutilasi ini dapat dikatakan sebagai rangkaian atau salah satu dari beberapa tindakan penganiayaan pada korban yang masih hidup. Berbeda dengan Pasal 351 KUHP, Pasal ini lebih menitik beratkan pada perencanaan pelaku untuk melakukan tindakan tersebut sehingga berakibat akhir luka berat pada korban. sanksi pidana: penjara max. 7 tahun
Pasal 354 (1) KUHP à secara khusus sebenarnya KUHP sudah memberikan ketentuan yang melarang tindakan yang mengakibatkan luka berat. kekhususan pasal ini tampak pada kesengajaan pelaku dalam melakukan mutilasi yang timbul dari niat agar korban menderita luka berat. sanksi: pidana penjara max. 8 tahun
Pasal 355 ayat (1) KUHP à dari sejak awal pelaku telah melakukan mutilasi sebagai tindakan penganiayaan dia dan sudah direncanakan terlebih dahulu. sanksi: pidana penjara max. 12 tahun
Pasal 356 KUHP à pemberatan sanksi pidana karena pelaku adalah keluarga korban, pejabat, memberikan bahan berbahaya. sanksi: pidana penjara +1/3 dari sanksi pidana yang di ancamkan.
Sedangkan pokok bahasan lain yang terkait adalah penganiayaan yang mengakibatkan matinya korban. Ada beberapa ketentuan pasal yang mengatur masalah ini.
- pasal 351 ayat (3) KUHP àsanksi pidana penjara: max 7 tahun
- pasal 353 ayat (3) KUHP à sanksi: pidana penjara: max 9 tahun
- pasal 354 ayat (2) KUHPà penganiayaan berat, sanksi: pidana penjara max. 10 tahun
- pasal 355 ayat (2) KUHP à penganiayaan berat dengan rencana, sanksi: pidana penjara max. 15 tahun
- pasal 356 KUHP à pemberatan sanksi +1/3
Mutilasi Sebagai Bentuk Kejahatan Terhadap Nyawa
Tindakan mutilasi di sini dapat dipahami sebagai tindakan pelaku melakukan pemotongan tubuh korban untuk mengakibatkan si korban mati. sangat berbeda dengan penganiayaan, dimana matinya korban tidak di rencanakan atau di harapkan sebelumnya. pada golongan ini, tindakan mutilasi ini jelas-jelas ditujukan untuk matinya korban. misalnya, dengan menebas kepala korban dengan celurit, memotong tubuh korban secara langsung dengan gergaji mesin, dll.
- Pasal 338 KUHP à perbuatan mutilasi yang dilakukan serta merta dan berakibat matinya korban. Sanksi: pidana penjara max. 15 tahun.
- Pasal 340 KUHP à perbuatan mutilasi sebelumnya telah direncanakan terlebih dahulu dan setelah dijalankan berakibat matinya korban. Sanksi: pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
Mutilasi pada Mayat Korban
Perlu diketahui KUHP memandang mayat bukan sebagai manusia alamiah yang hidup namun hanya sebagai benda yang sudah tidak bernyawa lagi. mengenai hal ini dapat kita kaji pasal 180 KUHP tentang perbuatan melawan hukum menggali dan mengambil jenazah, pelaku di ancam dengan pidana penjara maksimal 1 tahun 4 bulan atau denda maksimal 300 rupiah. hal ini sangat berbeda jauh jika di bandingkan dengan pasal penculikan orang (pasal 328 misalnya) memberikan sanksi pidana penjara maksimal 12 tahun.
Jika di bandingkan terhadap pasal pencurian barang pun sebenarnya juga sangat jauh berbeda, pasal 362 KUHP sangat memandang serius tindakan pencurian barang dan mengancam pelaku dengan sanksi pidana penjara maksimal 5 tahun penjara. oleh karena itu dapat di ambil suatu kesimpulan bahwa pengaturan tentang mayat atau jenazah di dalam KUHP masih sebatas pada benda yang sudah tidak bernyawa lagi.
- Pasal 406 KUHP à penghancuran atau perusakan barang yang menjadi kepunyaan orang lain. istilah ‘kepunyaan’ orang lain ini sangatlah berbeda dengan kepemilikan dari orang terhadap barang miliknya. pengertian ‘kepunyaan’ ini sangatlah luas tidak hanya semata-mata hak milik tetapi juga tanggung jawab yang telah diberikan dalam undang-undang. Jenazah tidak dapat dimiliki oleh jenazah itu sendiri, karena hak milik mensyaratkan subyeknya orang yang bernyawa. si ahli warislah yang menjadi penanggung jawab atas jenazah tersebut seperti tanggung jawab yang telah diberikan Undang-undang tentang hukum keluarga. Sanksi: penjara 2 tahun 8 bulan.
- Pasal 221 ayat (1) ke-2 KUHP à penghancuran benda-benda yang dapat dijadikan barang bukti tindak pidana. Sanksi: pidana penjara max. 9 bulan atau denda max. 300 rupiah.
- Pasal 222 KUHP à pencegahan atau menghalang-halangi pemeriksaan mayat Sanksi: pidana penjara max. 9 bulan atau denda max. 300 rupiah
Sampai saat ini belum ada satu pun ketentuan hukum pidana yang mengatur tindak pidana mutilasi ini secara jelas dan tegas. namun tidak berarti pelaku dapat dengan bebas melakukan perbuatannnya tanpa ada hukuman. tindak mutilasi pada hakekatnya merupakan tindakan yang sadis dengan maksud untuk meniadakan identitas korban atau penyiksaan terhadapnya. oleh karena itu sangatlah jelas dan benar jika tindak mutilasi ini dikelompokan sebagai tindak pidana bentuk kejahatan.
Mengenai ketentuan hukum pidana yang mengatur, KUHP sebenarnya memberikan pengaturan yang bersifat dasar, misalnya mutilasi sebagai salah satu bentuk penganiayaan, penganiayaan berat atau tindak pembunuhan. Hanya saja memang sangat diakui dalam kasus yang terjadi, sangatlah jarang pelaku melakukan mutilasi bermotifkan penganiayaan. tindakan mutilasi seringkali terjadi sebagai rangkaian tindakan lanjutan dari tindakan pembunuhan dengan tujuan agar bukti (mayat) tidak diketahui identitasnya.
Pada titik ini seringkali aparat kepolisian hanya menganggap tindakan mutilasi sebagai tindakan menghilangkan barang bukti dengan demikian rasa keadilan masyarakat tidak terfasilitasi. Adalah tugas hakim untuk menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat dalam rangka membuat Yurisprudensi yang menetapkan tindakan mutilasi sebagai bentuk kejahatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar